Quo Vadis Pembinaan di Gugusdepan?

Pada suatu kegiatan lomba kepramukaan, saya bertemu dengan salah satu adik yang pernah menjadi anggota di ambalan/gudep dan saat ini si adik sembari kuliah dia diminta untuk ikut membantu membina di salah satu gugusdepan.

Si adik bercerita dan sedikit membandingkan dengan pola pembinaan yang pernah dia rasakan saat aktif di gugusdepan pangkalan ambalannya dulu.

Dia bercerita bahwa di tempatnya sekarang tidak pernah ada latihan rutin, namun latihan diadakan situasional manakala akan mengikuti sebuah event lomba, untuk itu barulah diadakan serangkaian latihan yang intensif dengan calon peserta yang sudah diseleksi sebelumnya.

Dia dengan bangga berkisah tentang pola pembinaan yang diterapkan tersebut, namun berkebalikan dengannya, saya merasa miris mendengar kisah tersebut, ternyata sudah sedemikian parah dis-orientasi, pergeseran pola berpikir dan strategi pembinaan dari sebagian pembina di gudep dalam memahami makna sebuah kegiatan.

Kegiatan khususnya lomba, yang sejatinya adalah bagian dari metode kepramukaan yang di dalamnya ada proses panjang untuk mencapai tujuan dari pendidikan kepramukaan, malah menjadi tujuan lain.

Memang tujuan mengikuti lomba dan target menjuarai lomba tersebut juga karena ada titipan pesan dari pimpinan sekolahnya agar tim yang dikirim bisa pulang memboyong piala untuk menambah point akreditasi sekolah.

Namun apakah itu kemudian yang menjadi fokus para pembina dan proses pembinaan di gudep?

Jadi teringat perumpamaan yang pernah diajarkan kepada saya dalam sebuah kursus, bahwa problematikan kepramukaan saat ini ibarat sebuah lampu di plafon yang menerangi sebuah ruangan.

Semakin mendekati lantai, sinar lampu tersebut akan semakin melemah, akibatnya ada 3 wilayah yang terdampak. Yang dekat dengan sumber cahaya tentunya bersinar terang, yang berada di wilayah kedua, sudah mulai temaran, sedangkan wilayah yang jauh dari pusat lampu akan gelap.

Dan inilah yang terjadi, pembina karena ambisi dan 'titipan pesan serta amanah' dari pimpinan sekolah jadi lebih fokus pada adik-adik yang bersinar, yang jumlahnya sedikit dan mengabaikan adik-adiknya yang berada di area gelap yang jumlahnya sangat banyak. Padahal merekalah sesungguhnya yang butuh sentuhan tangan dari pembinanya untuk mengembangkan potensi diri mereka melalui kepramukaan...

Budaya seolah-olah ternyata sudah menjadi problematika akut di Gerakan Pramuka. Termangu saya menyadari itu semua, teringat quote BP yang menyatakan 'Scouting is a game for the boys but a job to be done seriously by the adult'.

Sudahkah kita orang dewasa di Gerakan Pramuka yang berada di garis depan organisasi dan satuan pendidikan organisasi gerakan ini serius berusaha menghantarkan kaum muda bangsa ke bawah kibaran sang merah putih menjadi tunas bangsa yang berkarakter, berkecakapan dan memiliki semangat kebangsaan yang tinggi?

Quo Vadis Gerakan Pramuka?

___
oleh: Kak Sonny Sanjaya, Pelatih Pembina Pramuka

Post a Comment

Previous Post Next Post